SIHIR DEBU (2)


Saya agak malu ketika mulai menyanyikan lagu Sihir Debu buat pertama kalinya di hadapan orang lain. Meskipun pada dasarnya saya menyukai lirik lagu tersebut, tetapi secara keseluruhan saya masih merasa khawatir kalau orang lain merasa lagu tersebut terlalu buruk dan tidak dapat dinikmati. Tetapi, saya berusaha menguasai diri dan mencoba menyanyikan lagu itu sewajar mungkin. Saya menyanyi tanpa memperhatikan, atau lebih tepatnya berpura-pura tidak memperhatikan, reaksi orang-orang yang mendengarkan. Dan, di tengah-tengah waktu saya menyanyi, mendadak di pikiran saya muncul gagasan untuk membuat sebuah pertunjukkan musik sederhana dari lagu-lagu saya. 

Saya menyampaikan gagasan itu kepada beberapa teman dan mereka bersedia membantu saya memproduksi lagu-lagu saya. Kami berlatih hari itu juga, dan atas saran seorang teman, saya mempercayakan lagu Sihir Debu untuk dinyanyikan oleh orang lain. Nama penyanyi itu Risa. Tetapi saya lebih suka memanggilnya manggis, sebab kulitnya yang hitam manis. Risa adalah perempuan jawa tulen yang lahir dan besar di Blitar. Dia mempunyai karakter suara yang lembut, dan membuat lagu Sihir Debu yang keluar dari tenggorokannya terkesan begitu mistis. Saya bergetar. Beberapa teman bergetar. Dan, dalam bergetar kami bersepakat mengatakan bahwa Risa dan Sihir Debu memang punya kecocokan. 

Daun Kering Di Antara Bunga
Kami mencoba memainkan lagu tersebut beberapa kali, kemudian merekamnya dengan handphone seorang teman. Seorang teman berkomentar aneh saat rekaman itu kami dengarkan. Katanya, lagu dan suara Risa mengingatkannya pada suasana Gestapu yang mencekam. Saya agak kaget. Apa dengan demikian dia memaksudkan lagu saya itu begitu buruk, atau itu adalah sensasi rasa yang membuatnya nikmat? Saya tidak bertanya kepadanya. Tetapi, dari obrolan demi obrolan, saya pun paham, bahwa yang dia maksudkan sesungguhnya adalah lagu tersebut telah membuatnya larut dalam suasana yang sulit ia jelaskan. Ada keheningan, mistik, amarah, sekaligus pada batas-batas tertentu ini lagu berlatar religius.

Ngawur.

Tetapi, saya tentu tersenyum dan merasa tenang. Sebab, itu adalah reaksi yang alami dan tidak ia buat-buat untuk menyenangkan hati saya. Alhasil, saya pun malih percaya diri kepada lagu yang lahir dari kehampaan ini. Saya terus memprovokasi diri saya sendiri dan mengatakan bahwa sebaiknya saya melakukan hal yang lebih serius dengan rencana pertunjukan musik yang tadi saya ceritakan. Saya menghubungi beberapa kolega (maksud saya teman yang agak jauh) tentang rencana ini dan mengatakan bahwa mereka siap membantu kalau saya berencana membuat pertunjukan musik di kotanya. 

Beberapa hari kemudian, saya mendapatkan kegembiraan lain dari lagu ini. Teman saya, teman yang Gestapu itu, bercerita bahwa teman-teman kampusnya juga menyukai lagu Sihir Debu yang ia perdengarkan kepada mereka. Saya agak tersanjung, walau saya kira mereka yang merasa senang itu mungkin hanya asal bicara. Pokoknya saya selalu waspada dengan segala bentuk pujian yang diarahkan kepada lagu saya. (bersambung)
  

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SIHIR DEBU (2)"

Post a Comment