SIHIR DEBU (5)
Tak Kental Maka Tak Sayang |
Beberapa hari kemudian, Yahya berkabar bahwa sutradara film mereka
menyukai lagu tersebut dan memilihnya sebagai soundtrack film mereka. Si
sutradara – saya tidak ingat namanya – berharap bisa bertemu dengan saya dengan
maksud untuk berlatih dan melakukan recording lagu Sihir Debu guna keperluan
film tersebut. Tetapi, saya katakan bahwa saya telah mengijinkan lagu tersebut
mereka pakai dan saya persilahkan pula untuk menggarapnya sesuai kebutuhan
mereka. Dan, dengan demikian, mengingat dead line perlombaan yang mepet,
sutradara itu urung bertemu saya.
Selang satu atau dua minggu,
saya dengar film itu telah rampung dikerjakan. Dan, kabarnya pula, sutradara
itu sendiri yang menyanyikan lagu Sihir Debu untuk filmnya. Saya tentu saja
penasaran dan ingin sekali melihat bagaimana hasilnya. Tetapi, karena sejak
awal saya sudah memutuskan untuk tidak terlibat dalam proyek mereka, kecuali
mengijinkan lagu saya mereka gunakan, saya pun tidak bisa menuntut apa-apa. Saya,
misalnya saja, tidak bisa meminta mereka mengirimkan hasil film mereka kepada
saya. Maka, sampai saat saya menuliskan cerita ini, saya tidak sama sekali
mengetahui hasilnya. Terutama sekali, saya tidak tahu hasil olahan mereka
kepada lagu Sihir Debu. Dan, saya pasrah. Saya senang, sebab, paling tidak saya
bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain melalui lagu saya. Dan,
itu sudah cukup bagi saya.
Lepas dari masa itu, pada suatu ketika saya datang ke sebuah acara teater di Universitas Negeri Surabaya. Itu adalah acara bulanan yang menyajikan ragam pertunjukan teater dari berbagai komunitas teater di Jawa Timur. Saya adalah salah satu penggagas gerakan tersebut, dan karenanya saya mengenal sebagian besar panitia yang bekerja untuk kegiatan bernama Forum Teater Intim Jawa Timur tersebut. Benar, selain menulis lagu, saya juga banyak menghabiskan waktu saya untuk bergiat di teater sejak masa kuliah. Saya menulis sejumlah naskah dan menyutradarai banyak pertunjukan, terutama untuk kelompok Teater Institut (Unesa) dan Sanggar Aboe-aboe Surabaya (almarhum).
Dus, pada waktu itu, entah siapa yang memulai, saya merasa mendapatkan tekanan dan dorongan dari sejumlah panitia untuk naik ke panggung dan menyanyikan sejumlah lagu sebagai selingan. Mula-mula saya menolak, tapi saya pun mengiyakan juga pada akhirnya.
Saya naik ke panggung dan menyanyikan beberapa lagu sebagai pembuka. Dan, ketika suasana sudah semakin hangat, saya pun mulai keasyikan di atas sana. Saya mulai berduet dengan beberapa penyaji dadakan lainnya. Di sebuah sesi, salah seorang penonton asing, yang datang bersama teman Indonesianya, naik pula ke panggung. Kami memainkan sebuah lagu tradisional Spanyol, yang sama sekali gagal menurut saya. Tapi, untunglah penonton tampak tidak mempermasalahkannya. Ah, selamatlah muka saya.
Pada sesi terakhir saya di atas panggung itu, saya mengiringi seorang penonton lain membaca puisinya. Dan, pada bagian tertentu di antara pembacaan puisi itu - sungguh, itu bukan puisi cinta - , dia berbisik dan bertanya, apa saya mengenal lagu Sihir Debu, Timur Budi Raja? Hah? Mengenal? "Iya," jawab saya. Maka, kami pun mulai memainkannya. Hebatnya, dan ini tidak saya ketahui sebelumnya, sebagian besar penonton telah menghafal lagu itu. Jadinya, suasana menjadi begitu riuh. Mereka bernyanyi bersama kami, sejak awal lagu hingga petikan terakhir senar gitar di tangan saya. Saya terpukau, walau tak sampai meneteskan air mata. Ini semacam kejutan yang luar biasa.
Oke, saya rasa begitu sajalah cerita saya tentang Sihir Debu, dan sebagian perjalan saya bersamanya. Bila saat ini anda menuliskan judul lagu itu di mesin pencari Google, misalnya, anda akan menemukan alamat soundcloud saya, di mana terdapat lagu Sihir Debu Timur Budi Raja. Itu pun bila anda merasa perlu melakukannya. Tetapi andai tidak, saya rasa juga tidak ada ruginya buat anda. Minum kopi saja. Atau lanjutkan aktifitas anda lainnya. Itu akan lebih berguna bagi masa depan anda. Lagipula, soal olah vokal, Timur tidaklah sekeren saya.
Dus, pada waktu itu, entah siapa yang memulai, saya merasa mendapatkan tekanan dan dorongan dari sejumlah panitia untuk naik ke panggung dan menyanyikan sejumlah lagu sebagai selingan. Mula-mula saya menolak, tapi saya pun mengiyakan juga pada akhirnya.
Saya naik ke panggung dan menyanyikan beberapa lagu sebagai pembuka. Dan, ketika suasana sudah semakin hangat, saya pun mulai keasyikan di atas sana. Saya mulai berduet dengan beberapa penyaji dadakan lainnya. Di sebuah sesi, salah seorang penonton asing, yang datang bersama teman Indonesianya, naik pula ke panggung. Kami memainkan sebuah lagu tradisional Spanyol, yang sama sekali gagal menurut saya. Tapi, untunglah penonton tampak tidak mempermasalahkannya. Ah, selamatlah muka saya.
Pada sesi terakhir saya di atas panggung itu, saya mengiringi seorang penonton lain membaca puisinya. Dan, pada bagian tertentu di antara pembacaan puisi itu - sungguh, itu bukan puisi cinta - , dia berbisik dan bertanya, apa saya mengenal lagu Sihir Debu, Timur Budi Raja? Hah? Mengenal? "Iya," jawab saya. Maka, kami pun mulai memainkannya. Hebatnya, dan ini tidak saya ketahui sebelumnya, sebagian besar penonton telah menghafal lagu itu. Jadinya, suasana menjadi begitu riuh. Mereka bernyanyi bersama kami, sejak awal lagu hingga petikan terakhir senar gitar di tangan saya. Saya terpukau, walau tak sampai meneteskan air mata. Ini semacam kejutan yang luar biasa.
Oke, saya rasa begitu sajalah cerita saya tentang Sihir Debu, dan sebagian perjalan saya bersamanya. Bila saat ini anda menuliskan judul lagu itu di mesin pencari Google, misalnya, anda akan menemukan alamat soundcloud saya, di mana terdapat lagu Sihir Debu Timur Budi Raja. Itu pun bila anda merasa perlu melakukannya. Tetapi andai tidak, saya rasa juga tidak ada ruginya buat anda. Minum kopi saja. Atau lanjutkan aktifitas anda lainnya. Itu akan lebih berguna bagi masa depan anda. Lagipula, soal olah vokal, Timur tidaklah sekeren saya.
0 Response to "SIHIR DEBU (5)"
Post a Comment