Rembulan Samar-samar

Aku tidak ingat kapan persisnya aku mengenal perempuan ini. Tapi aku yakin semua bermula di sekolah sore di mana kami  bertemu setiap hari kecuali hari minggu. Kami berbicara dan perlahan-lahan kami mulai saling mengirimkan tanda betapa sepinya hari di hari minggu. Yakni, hari saat kami tidak bertemu.

Dia adalah perempuan yang istimewa ketika itu. Bukan hanya untukku tapi juga untuk semua orang di komunitas sekolah sore itu. Pak Azis, ustad utama kami sering bilang kalau Alis, nama perempuan itu, sangat pandai dan dia selalu menjadi rangking satu di sekolah sore itu, dua rangking di atasku.

Dia pandai sekali membaca dan melagukan al quran. Untuk anak seusia kami barangkali dialah satu-satunya yang mempunyai kecakapan seperti ini. Ayahnya, pak Syafi'i adalah seorang ahli hadrah dan shalawat nabi. Aku biasa mengikuti perkumpulan syair Barjanji di mana dia adalah salah seorang pemain hadrah dan pelantun shalawat nabi. Mungkin dari dialah bakat membaca dan melagukan al quran itu dia warisi.

Sebagai bagian dari sekolah sore aku juga mempelajari hal yang sama seperti yang dia pelajari. Tetapi, soal lagu-melagukan bacaan al quran itu aku tidak mempelajarinya di sana. Aku belajar ke musalah haji Yitno yang letakny kira-kira 600 meter dari musalahku. Maksudku, musalah yang paling dekat dengan rumahku.

Guruku melagukan bacaan al quran adalah seorang pemuda indekos yang biasa kupanggil mas An. Perawakannya sedang, rambutnya bergelombang, dan dia selalu mengenakan peci hitam yang kelihatannya memang sengaja dimiringkan. Danseingatku dia adalah seorang guru yang murah senyum dan penyabar.

Murid mas An di musalah ini tidak banyak. Seingatku hanya ada empat orang anak yang secara khusus belajar melagukan al quranyakniaku, Abidin, Agus, dan Al. Sedang di luar itu hanya ada beberapa anak yang belajar membaca (kami sebut mengaji) yang biasanya dilaksanakan antara sholat maghrib dan isya'.

Dan, karena jumlah anak yang tidak banyak mempelajari lagu al quran itulah maka kemampuanku yang seharusnya biasa-biasa saja itu bisa menjadi yang tidak biasa bagi sebagian penduduk desa.

Pada suatu hari entah dalam rangka peringatan apa desa mengadakan aneka lomba yang berpusat di masjid. Pesertanya berasal dari lima musalah yang ada di desa. Beberapa adalah jenis lomba beregu dan beberapa adalah lomba yang bisa diikuti oleh perseorangan semisal lomba adzan, baca puisi, dan qiro'ah (seni membaca al quran indah).

Aku ikut di hampir semua tangkai lomba baik beregu maupun perseorangan kecuali adzan. Aku masuk dalam kelompok lomba diba' (shalawat nabi dengan cara dinyanyikan) dan praktik pelaksanaan shalat berjamaah. Sedang di lomba perseorangan aku diikutkan dalam lomba baca puisi dan qiroah.

Di hari pelaksanaan, suasana di dalam dan di luar masjid terasa sangat meriah. Aku tidak ingat betul bagaimana model dekorasi di dalam masjid kecuali tiga buah bangku juri yang ditata berderet di tengah ruang utama masjid dan sebuah meja baca khusus al quran disediakan untuk peserta lomba qira'ah. Sedang di luar anak-anak berlari atau berkerumun di tukang-tukang jajanan yang sudah ada sejak sore. Dan, di detik-detik menjelang pelaksanaan lomba hari itu entah bagaimana awalnya tiba-tiba Alis mendatangiku dan bertanya tentang Al.

Al adalah temanku, teman baikku. Tetapi, dia juga pesaing yang cukup menakutkanku. Dia adalah panutan anak-anak seusiaku. Suara Al sangat indah dan merdu. Alis penasaran dan ingin tahu banyak hal tentang anak itu dan ini lumayan menyesakkan bagiku. Untunglah, sebelum pembicaraan selesai, Alis sempat menanyakan sejumlah hal terkait puisi Lautan Jilbab (Emha Ainun Najib) yang dijadikan puisi wajib malam itu.

Dengan senang hati aku bicara apa saja yang aku ketahui tentang puisi itu. Dan, di akhir pertemuan aku yakin dia sangat berterimakasih kepadaku. Oh, mabuk harapan, aku bersiap menyongsong perlombaan malam itu. Dan, tak lama sesudah kejadian malam itu aku menuliskan surat cinta pertamaku.

Aku suka setiap kali mengirim atau menerima surat-surat kepada dan darinya. Tidak aku ingat detail suratnya, tapi tidak aku lupa bagaimana rasanya. Setiap kali mengingat surat-suratnya aku seperti melihat sebuah tanah lapang di mana sejumlah anak lelaki bermain kejaran dengan bulan purnama sebagai penerang. Indah, kalau bukan menawan.

Tanah lapang itu adalah tanah lapang di samping musalahku. Tempat aku shalat dan menimba beberapa ilmu dari guru-guruku. Aku belajar beberapa lagu pujian, yang biasa kita nyanyikan sebelum iqamah sesudah adzan, membaca turutan (juz ammah), iqamah, adzan, dan sedikit sejarah beberapa ulama yang dianggap penting dalam pembentukan komunitas dan masyarakat muslim di desaku.

Pada malam-malam tertentu Alis dan dua atau tiga temannya akan melintas di tanah lapang itu. Mereka berjalan kaki cukup jauh untuk belajar qira'ah di masjid desa tetangga. Aku tidak terlalu mengerti bagaimana dia dengan pelajarannya itu. Tapi dia pandai, dan dia akan selalu pandai apapun yang dia pelajari, menurutku.

Tetapi itu adalah waktu yang sangat jauh. Dan aku tidak ingat bagaimana sesungguhnya hubungan kami ketika itu. Apakah kami pernah saling berkata suka? Apakah kami hanya saling memperhatikan atau ada hal lain yang kami lakukan ketika kami bertemu di tanah lapang, di bawah alunan angin dan remang-remang sinar rembulan? Apakah kami pernah bergandengan tangan? Samar. Semua begitu samar.

Oh, ya. Sekedar informasi asal kalian tahu, di perlombaan malam itu akhirnya Alis mendapatkan dua piala utama dari lomba qira'ah dan baca puisi kategori anak dan remaja putri, Al juara pertama qira'ah kategori anak dan remaja putra,sedang akujuara pertama lomba baca puisi dan juara dua qira'ah. Jadi kalian tahu, kalau dihitung-hitung, bukankah ketika itu aku unggul setengah bidang dibanding pesaingku? 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Rembulan Samar-samar"

Post a Comment