SIHIR DEBU (4)


Berbulan-bulan sejak pembatalan rencana pertunjukan musik saya itu, saya berkunjung ke rumah kos teman. Itu adalah sebuah kamar 4x5 meter yang dihuni tiga orang. Saya kenal ketiganya, terutama Guruh, yang tak lain adalah adik tingkat saya semasa kuliah. Menurutnya, akan menarik bila lagu Sihir Debu digarap dengan konsep band. Saya tersenyum, dan berbesar hati bahwa lagu tersebut rupanya punya peluang untuk digarap dengan pendekatan yang sangat berbeda, sebuah band.

Dua orang lainya, yakni Alfan dan Syahril. Keduanya tidak banyak pendapat tentang Sihir Debu. Tapi, dari keduanya saya lebih sering mendengar Sihir Debu dinyanyikan. Sadar atau tidak, kedua teman saya ini, telah membangkitkan sesuatu yang sedang diam dalam diri saya. Saya mendapatkan energi untuk mengerjakan sesuatu dengan musik. Maka, dalam waktu tak lama dari saat itu, saya dan beberapa teman saya, termasuk Guruh dan Alfan mulai merancang dan membentuk sebuah kelompok, sebuah band.

Saya akan menceritakan soal band itu di lain kesempatan, bila perlu. Tapi, sekarang ada baiknya saya kembali bercerita tentang Sihir Debu.

Di antara sekian peristiwa - demi kopi yang tenang dan berwibawa - yang berhubungan dengan Sihir Debu, peristiwa rekaman telpon Alfanani dan Aristya barangkali adalah salah satu yang paling berkesan. Telpon itu merekam bagian akhir pembicaraan mereka. Syahdan, Alfanani yang agak genit itu meminta teman bicaranya untuk menyanyikan Sihir Debu saat itu juga, dan Aristya yang cantik lagi baik hatinya itupun dengan santai menyanyikannya. Rekaman suara Aristya yang bernyanyi lewat telpon itu, kerap kali kami putar bersama-sama di rumah kos, yang perlahan-lahan berubah jadi semacam base-camp untuk saya. Ini perbuatan curang, tentu saja. Sebab, Aristya tak pernah tahu kejadiannya.

"Tahu, mas," sahut Aristya dalam bayangan saya.

Lewat dari masa rumah kos yang menyenangkan itu, saya tak pernah mendengar lagi orang bicara tentang lagu ini. Tak pernah. Saya juga tak pernah menyanyikannya. Sampai suatu ketika, seseorang menandai saya dalam sebuah video yang diunggahnya. Video itu berisi dia yang sedang menyanyikan Sihir Debu di sebuah acara. Dan, dia tak lain adalah karib saya, Timur Budi Raja. 

Betul, sebenarnya saya agak heran Timur mau menyayikannya. Sebab, dibandingkan dengan lagu-lagu Timur Budi Raja, lagu Sihir Debu itu bukanlah apa-apa. 

"Oh, Ya?" 

"Ya."

Tapi, ya sudahlah (frase "ya sudahlah" telah dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Bondan Prakosa, ya?). Ya, sudahlah. Timur sudah melakukannya, dan saya tentu berterimaksih kepadanya. Dan, dari komentar yang saya baca, saya mendapat kesan bahwa Timur berhasil memberikan sesuatu melalui lagu itu kepada penikmatnya. Mereka mengagumi karakter Timur dan berterimakasih atas unggahan videonya. Saya rasa, mereka seperti saya.

Tapi, seperti biasanya, Timur - di rumahnya, dia dipanggil Jaja' - lebih suka menyebutkan nama orang lain atas keberhasilannya itu. Menurutnya, bila ada orang yang pantas mendapat apresiasi - maksudnya jempol - maka orang itu adalah Kiki - saya sebutkan Kiki di depan nama saya dengan maksud merendahkan hati - (pemain gitar dalam video itu) dan saya sebagai penciptanya (nah, kan, saya terlihat rendah hati di hadapan anda). Dia bicara seperti seseorang yang tidak pernah berbuat apa-apa. Memangnya dengan begitu, dia pikir dia bisa membuat saya terharu? 

Apa. (bersambung).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SIHIR DEBU (4) "

Post a Comment